Indonesia English
Jumat, 29 Maret 2024 |
Nasional - Politik

Putusan Mahkamah Konstitusi Bolehkan Calon Tunggal

Selasa, 29 September 2015 19:26:54 wib - Komentar
Prof Arief Hidayat.

Serang, (Banten88.com) -  Kembali Mahkamah Konstitusi membuat terobosan baru. Untuk menjawab kebekuan mengenai kedudukan calon tunggal dalam Pilkada serentak yang masih menjadi perdebatan. Dalam uji materi yang diusulkan oleh para pemohon Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru, MK mengabulkan permohonan sebagian untuk persoalan calon tunggal dalam pilkada 2015.

Melalui putusan ini, daerah yang memiliki calon tunggal bisa mengikuti pilkada. Syaratnya daerah yang bersangkutan telah mengupayakan adanya pasangan calon lainnnya dalam waktu tiga hari. Selanjutnya jika dalam waktu tiga hari tidak ada pasangan calon lain maka pilkada dengan satu pasangan calon tetap bisa dilakukan. Sehingga masyarakat di daerah bersangkutan bisa memilih apakah pasangan calon tunggal tersebut layak sebagai kepala daerah atau tidak.

Dalam putusan tersebut, jika satu pasangan calon tunggal mendapatkan suara terbanyak maka akan terpilih sebagai kepala daerah. Tapi kalau rakyat tidak menghendakinya melalui pilkada dengan suara terbanyak, maka pilkada ditunda ke pilkada gelombang selanjutnya. "Menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang pembacaan putusan UU Pilkada di Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/9).

Perubahan yang terjadi dengan dikabulkannya pasal tersebut maka daerah yang memiliki pasangan calon tunggal dapat tetap melaksanakan pilkada dengan memberikan kedaulatan pada rakyat untuk memilih apakah calon itu berhak atau tidak memimpin daerahnya. Dalam pertimbangan mahkamah, Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan pelaksanaan pilkada harus menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat sesuai amanat UUD 1945.

Dalam UU Pilkada, para pembuat UU memang mengatur ada kontestasi dalam pilkada dengan menyaratkan adanya dua pasang calon. Tapi memang para pembuat UU luput memikirkan jika syarat dua pasang calon tidak terpenuhi. Sehingga memang ada kekosong hukum atas persoalan calon tunggal. Padahal dengan adanya calon tunggal muncul kekosongan hukum dan mengakibatkan tidak terselenggaranya pilkada. Hal ini juga berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Muradi, menilai, putusan MK yang memperbolehkan calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah telah memecahkan kebuntuan permasalahan dalam berdemokrasi. Keputusan tersebut juga dianggap bagian dari mengedepankan penghargaan atas hak konstitusi publik dalam pilkada.

"Keputusan MK ini mengurangi kemungkinan ancaman kebuntuan demokasi yang akan merugikan publik untuk mendapatkan pemimpinnya," kata Muradi melalui siaran pers, Selasa (29/9).

Dikatakan Muradi, keputusan tersebut dapat menghindari hak politik publik yang tersandera dalam pilkada. Terlebih lagi, publik diberi pilihan setuju atau tidak setuju kepada pasangan calon tunggal tersebut. "Saya rasa apa yang diputuskan oleh MK adalah bagian dari skema untuk tetap mengupayakan terjaganya hak politik publik," kata Muradi.

Muradi menganggap, langkah ini juga mengembalikan proses politik ke publik sebagai bagian dari hak warga negara. Oleh karena itu, dia meminta Komisi Pemilihan Umum dapat menerapkan peraturan tersebut dalam pelaksanaan pilkada serentak Desember 2015.

Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasan tertinggi di tangan rakyat.

Selain itu, MK menimbang perumusan norma UU Nomor 8 Tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan kekosongan hukum. Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada. Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih. Permohonan tersebut diajukan oleh pakar komunikasi politik Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru.

Mereka mengajukan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pada intinya, para pemohon merasa hak konstitusional pemilih dirugikan apabila pemilihan kepala daerah serentak di suatu daerah mengalami penundaan hingga 2017. Pasalnya, UU Pilkada mengatur bahwa syarat minimal pelaksanaan pilkada harus diikuti oleh dua pasangan calon kepala daerah.

Saat ini, ada tiga daerah yang memiliki calon kepala daerah tidak lebih dari satu pasangan. Daerah itu adalah Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). KPU telah menyatakan bahwa penyelenggaraan pilkada di ketiga daerah itu ditunda hingga pilkada periode berikutnya, yakni 2017. (Dang).

KOMENTAR DISQUS :

Top